Pemilik modal memiliki focus of interest pada memaksimalkan keuntungan atau profit. Profit merupakan selisih antara omzet penjualan dengan biaya produksi. Sehingga dalam proses meningkatkan profit terdapat dua cara yang dapat dilakukan, yaitu yang pertama meningkatkan omzet dengan meningkatkan harga atau dengan memperluas pasar, dan yang kedua dengan cara mengurangi biaya produksi.
Cara yang paling aman dan sedikit resikonya bagi pengusaha atau pemilik modal adalah dengan pengurangan biaya produksi. Karena peningkatan omzet dengan meningkatkan harga komoditas hanya akan mengurangi jumlah permintaan (demand), sedangkan peningkatan omzet dengan perluasan pasar akan mengeluarkan cost yang lebih besar lagi. Sehingga pengusaha lebih cenderung untuk memilih pengurangan biaya produksi. Dalam pengurangan biaya produksi, pengeluaran dalam bentuk beban gaji pegawai atau buruh merupakan bagian pengeluaran yang mudah untuk dipangkas. Hal tersebut karena pengeluaran di bidang lain akan dapat memperburuk aspek kualitas maupun kuantitas dari komoditas yang akan diproduksinya.
Sedangkan di sisi lain, buruh atau pegawai juga memiliki kepentingan untuk dapat memaksimalkan kesejahteraan yang dimilikinya. Kesejahteraan yang tinggi dapat diperoleh dengan mendapatkan gaji atau upah yang tinggi pula, sehingga focus of interest dari buruh adalah untuk memperoleh penghasilan/gaji yang tinggi. Pada dasarnya antara buruh dan pengusaha memiliki kepentingan yang serupa, yaitu ingin mendapatkan keuntungan yang setinggi-tingginya bagi masing-masing dirinya. Namun yang menjadi masalah adalah focus of interest keduanya saling bertolak belakang, dimana kenaikan pendapatan buruh akan dapat mengurangi keuntungan pengusaha karena pendapatan/gaji buruh merupakan bagian dari faktor biaya produksi, dan demikian pula sebaliknya. Sehingga pertentangan kepentingan ini menghasilkan konflik antara buruh dan pengusaha.
Konflik antara buruh dan pengusaha merupakan konflik antar kelas, bukan antar strata. Karena pada dasarnya buruh dan pengusaha adalah sederajat (egaliter). Dimana tanpa adanya buruh, pengusaha tidak dapat menjalankan proses produksinya dan begitu pula dengan tanpa adanya pengusaha maka buruh tidak akan memiliki tempat untuk bekerja. Hubungan saling ketergantungan antara buruh dengan pengusaha inilah yang selanjutnya menghasilkan proses produksi.
Fakta di lapangan memperlihatkan baik dari masyarakat, pengusaha, maupun buruh, memiliki opini bahwa pengusaha degan buruh memiliki posisi yang hierarki, sehingga pengusaha dianggap memiliki strata yang lebih tinggi dibandingkan dengan buruh. Sehingga seringkali banyak pengusaha yang sewenang-wenang dalam memperlakukan buruh dan kaum buruh pun tidak berani melawan. Misalnya saja salah satunya dengan kerja paksa melebihi jam yang ditentukan. Banyak buruh yang mengerjakan pekerjaannya melebihi jam seharusnya, namun tidak ada timbal balik yang diberikan perusahaan kepadanya. nilai lebih (surplus value) tersebut memberikan keuntungan yang besar bagi perusahaan, namun memberikan kerugian bagi buruh karena waktunya terbuang sia-sia tanpa mendapatkan feed back dari perusahaan.
Masih banyaknya buruh yang tidak sadar akan persamaan kedudukan diantara mereka dengan pengusaha dikarenakan dirinya masih berfikir sebagai seorang individu. Dimana buruh masih belum memiliki kesadaran kelas, yaitu bahwa gerakan kolektif dibutuhkan untuk dapat memperoleh kesetaraan dengan pengusaha. Karena apabila secara kolektif buruh melakukan pertentangan maka akan dapat memberikan kerugian yang besar bagi perusahaan sehingga akan menjadi sebuah perhatian yang serius bagi pengusaha untuk melakukan pertimbangan. Kesadaran kolektif para buruh akan posisi dari kelas yang dimilikinya tersebut akan dapat membuat buruh bersatu dan memiliki sebuah bentuk struktur yang jelas sebagai organisasi.
Related Articles
No user responded in this post
Leave A Reply