Cinta Terbesarku bukanlah Demi Harta
Oleh: Muhson Arifin
Sudah satu tahun lamanya aku tidak bertemu dengannya. Masa wisuda SMA merupakan masa terburuk yang telah memisahkan kami. Saat itu tanpa sengaja aku telah menyakiti hatinya sampai membuatnya pergi jauh meninggalkanku. Merantau ke jakarta untuk bekerja dan meninggalkanku disini.
Satu tahun bukanlah waktu yang singkat, terutama tanpa kehadiran dirinya. Si gadis aneh yang selalu menarik perhatianku semasa SMA dulu.
Aku teringat di saat pertama kali kami bertemu dengannya di hari pertama masuk SMA. Aku duduk di bagian paling pojok belakang seperti yang biasa kulakukan semasa SMP. Sebagai siswa baru, hamper setiap orang di kelas berusaha saling berkenalan. Kecuali aku yang hanya duduk berdiam diri di kursiku. Dan satu orang lagi, seorang gadis yang juga sama sekali tidak bergerak untuk berkenalan dengan yang lainnya.
“Hei, kenapa kamu tidak ikut berkenalan dengan teman-teman yang lainnya?” aku berusaha membuka percakapan dengan gadis itu.
“Kamu juga sama. Kenapa Tanya aku?” balasnya ketus.
“Kalau aku sih bosan berkenalan, paling nanti juga kenal sendiri kok.. hehe..” kataku diselingi dengan tawa kecil. Sekilas terlihat sebuah senyuman kecil terbentuk di raut mukanya.
“Kamu aneh.” Jawabnya. Dua kata yang diucapkannya ini terasa memiliki arti yang sangat dalam, tak pernah kutemui orang semacam dia yang berani menyebutku aneh di saat pertama kali bertemu.
Begitulah, dia selalu berada dalam pikiranku. Bibirnya yang tipis, dan matanya yang cerah tak pernah bisa kulupakan. Gaya bicaranya yang lembut namun ketus pun menjadi cirri khasnya. Namun sayangnya kini dia telah pergi karena kesalahanku.
Di saat wisuda SMA kunyatakan perasaanku secara terang-terangan di depan panggung. Dimana seluruh hadirin mendengar dan melihat tingkah bodohku itu. Saat itu juga dirinya menamparku dan pergi sambil menangis. Memang aku merasa bersalah, namun sejak saat itu aku tidak bisa lagi menghubunginya.
Akhir-akhir ini sempat kudengar kabar angin mengenai dirinya. Dalam satu tahun ini dia sempat mengikuti casting film dan diterima sebagai pemeran utamanya. Tak kusangka, dia benar-benar berusaha mewujudkan cita-citanya yang dulu sempat kutertawakan, yaitu menjadi orang terkenal di negeri ini.
Ingin rasanya aku mengunjungi dirinya, meminta maaf atas kesalahanku di masa lalu, dan mengajaknya untuk tinggal bersamaku dalam ikatan cinta. Namun apalah daya, tidak ada satu pun petunjuk mengenai alamatnya di Jakarta. Bahkan ketika aku bertanya kepada orang tuanya pun, mereka tidak mau memberikan jawaban. Mungkin ini merupakan balasan yang pantas bagi diriku yang telah mempermalukannya di saat itu.
Dalam rinduku, kembali kudengar sebuah kabar angin yang tidak jelas sumbernya. Gadis itu akan segera kembali ke desa untuk pengambilan gambar salah satu scene film perdana yang dibintanginya. Bingung bercampur senang rasanya menerima berita tersebut.
Setiap hari sambil menunggu kedatangannya kusiapkan kata-kata permohonan maaf sambil kubayangkan dirinya berada di depanku. Tak ada kata yang pas, tak ada kata yang cocok untuk mengungkapkan betapa menyesalnya diriku sewaktu itu. Namun terus menerus kucoba untuk menyusun kata demi kata, kuliah pun aku tidak fokus karena hal ini.
Hari ini adalah hari kedatangannya. Semua kata yang kusiapkan telah kacau dan menghilang secara tiba-tiba. Jantungku berdegup kencang, tanganku gemetaran. Kali ini aku putuskan aku tidak akan melakukannya di tempat umum sebagaimana kesalahanku dulu.
Aku tahu dia akan pergi ke sawah, sawah dimana kami pernah meneriakkan cita-cita kami bersamaan.
“Hani, apa kamu masih marah?” tanyaku kepadanya.
“Bagaimana kamu bisa ada disini?” dia berbalik bertanya.
“Aku tahu kamu tidak akan pernah melupakan tempat bersejarah ini, Hani. Terutama pohon ini, pohon tempat kita selalu bertemu” kataku sambil menunjuk pohon di sampingku
“Sudahlah, lupakan saja masa-masa itu. Semua kenangan itu hanyalah akan menyakiti hatiku”.
“Jadi kamu masih marah?”
“Kamu masih bisa bertanya seperti itu?”
“Hani, aku melakukan semua itu untuk menunjukkan rasa cintaku kepadamu. Tidak lebih.”
“Kamu sudah mempermalukanku di depan semua orang, andi. Apakah kamu pikir dengan berpidato di depan semua orang dan menyebutkan akan memberikanku uang apabila aku menerima cintamu, aku akan menerimanya? Itu memalukan, andi..” mulai terdengar isak tangis dari suaranya
“Maaf, aku pikir kamu juga mencintaiku”
“Aku dulu sebenarnya menyukaimu juga, tapi caramu mengungkapkan itu yang salah. Apakah kamu tidak sadar kamu sudah mempermalukanku secara langsung di depan semua orang? Apa kamu tidak sadar, andi?” tanyanya dengan nada yang semakin tinggi.
“Maafkan aku, Hani.”
“Sekarang lebih baik kamu lapakan saja aku. Lagipula aku sudah memiliki seorang calon suami yang jauh lebih tampan dan lebih kaya dibandingkan kamu.”
Kalimat terakhirnya itu membuat jantungku serasa berhenti berdetak. Seketika itu pula Hani pergi meninggalkanku sendirian. Terus kutatap kepergiannya, berharap dia akan berbalik dan kembali kepadaku, namun harapan itu sia-sia. Dia masih marah kepadaku masalah pernyataan cintaku yang telah membuatnya merasa dipermalukan.
Permintaan maafku tidak diterimanya. Namun aku akan tetap mencobanya. Langsung saja keesokan harinya, aku datang ke rumahnya. Sebuah rumah yang biasa saja, bahkan cenderung tampak terlalu kecil untuk ditinggali Hani beserta keluarganya.
“Assalamualaikum” Aku memberikan salam dari luar sebagai pertanda kedatanganku sebagai tamu.
“Waalaikum salam”, terdengar sebuah suara yang sangat asing bagiku.kemudian disusul dengan keluarnya seorang pria dari pintu rumahnya.
Dilihat dari penampilannya, pria ini berusia tidak kurang dari 35 tahun. Badannya lebar, Hidungnya besar, rambutnya rapi, kumisnya lebat, dan pandangannya sangar bagaikan pandangan seorang pembunuh. Aku ragu apakah dia saudaranya ani atau bukan karena selama ini aku tidak pernah melihatnya.
“Ada perlu apa kamu kesini?” Tanya pria tersebut.
“Saya mau ketemu ani, pak.”
“Ani sedang pergi. Ada pesan yang ingin saya sampaikan?”
“Tidak, pak. Terima kasih. Kalau boleh tahu bapak ini siapa ya pak? Karena saya merasa tidak pernah melihat bapak sebelum ini”
“Saya ini Sumarjo adi sukamto, produser terkenal sekaligus calon suaminya ani.”
Mendengar hal itu langsung saja aku pamit untuk pulang. Tak kusangka Hani lebih memilih orang seperti ini dibandingkan dengan diriku. Aku akhirnya pulang ke rumah dengan kondisi perasaan yang kacau, sedih dan gundah.
Setelah berkali-kali kupikirkan masalah ini, aku pun tersadar. Pasti ada sesuatu yang tidak beres dengan semua ini. Terlebih lagi ketika kulihat dalam prosesi syutingnya, ani yang dulu merupakan orang yang ceria kini lebih sering cemberut. Dan ketika bersama dengan produser yang katanya merupakan calon suaminya itu pun tidak terlihat sedikit pun raut bahagia di mukanya.
Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres dengan semua ini. Kurasa ini adalah tugasku sebagai seorang yang mencintai Hani sepenuh hati untuk dapat berjuang menolongnya. Setidaknya ini untuk membalas kesalahanku di masa lalu.
Satu per satu teman-teman Hani di SMA aku kumpulkan, sanak dan kerabat Hani pun aku coba tanyai satu per satu. Hasilnya cukup mengagetkan, Hani melakukan semua itu bukanlah atas kemauannya sendiri.
Akhirnya kuputuskan sekali lagi untuk bertemu dengan Hani. Kali ini tidak akan mudah menunggunya di sawah, jadi kuputuskan untuk menemuinya setelah syuting selesai. Secara diam-diam kuseret dia ke belakang gedung tua di samping area syuting.
“Hani, jujur sama aku, han… kamu mau menikah dengan orang macam produser itu bukan keinginanmu sendiri kan?”
“Kamu tidak usah ikut campur urusanku, urus saja dirimu sendiri”
“Apakah benar kamu dipaksa menikah dengan produser itu?”
“Itu keinginanku sendiri”
“Bohong..”
“Iya, itu keinginanku sendiri, andi..”
“Beberapa hari ini aku sudah menyelidiki semuanya. Aku sudah tahu semuanya, Hani. Aku sudah tahu kamu masih suka sama aku. Aku juga tahu kalau kamu dipaksa menikah dengan produser itu”.
“Semua itu salah. Kamu jangan mengada-ada disini..”
“Pantas kamu menjadi seorang artis. Kamu memang pandai menyembunyikan perasaanmu yang sebenarnya. Kalau mau menangis, menangislah saja..”
“Apa maksudmu?”
“Matamu sudah berkaca-kaca. Keluarkan saja tangismu disini, tidak aka nada yang mendengar. Semua yang kusampaikan tadi aku mendengarnya dari bibimu. Dia menceritakan semuanya kepadaku.”
“Semuanya?” terlihat tetes-tetes bening air mata mulai mengalir di pipinya
“Iya, semuanya. Dari sebelum wisuda SMA kita, kamu sudah dijodohkan oleh orang tuamu dengan produser genit itu karena dia kaya kan?. Dan ketika kunyatakan cintaku di wisuda itu pun, kamu dipaksa orang tuamu untuk menolakku, benar kan?”
“Tidak…” kalimatnya terpotong oleh mulai pecahnya tangisnya.
“Biar kulanjutkan, setelah wisuda kamu pergi ke jakarta bukan untuk mencari kerja bukan? Melainkan kamu dikirim ke jakarta untuk menjauhkanmu dariku. Dan sekaligus agar kamu bisa bertemu dengan calon suamimu itu. benar kan?”
“Semua itu salah… hiks… hiks..”
“Sungguh sandiwaramu hebat sekali, Hani, kamu dapat membuatku menderita karena penyesalanku selama ini..”
“Sudah, hentikan.. hiks… hiks… terus apa bedanya kalau kamu tahu semua ini? Tidak ada yang dapat kamu lakukan karena ini sekarang sudah menjadi pilihanku… mungkin dulu adalah paksaan orang tua, tapi sekarang adalah pilihanku sendiri… hiks.. hiks..”
Aku terbengong dibuatnya. Tanpa kusadari dia telah berlari kembali ke tempat syuting membantu kru film lain untuk berkemas. Kulihat sudah tidak ada lagi air mata di wajahnya. Begitulah seorang artis, bisa dengan mudahnya menyembunyikan perasaannya.
Memang benar apa yang dikatakan olehnya. Aku tidak dapat berbuat apa-apa. Harta aku tak punya, pekerjaan pun tidak ada karena aku hanya seorang mahasiswa biasa. Ingin melaporkan secara hokum, namun tidak ada pelanggaran hokum yang dilakukan. Akhirnya hanya ada satu jalan yang dapat kuambil, yaitu kawin lari.
Sekali lagi kucari celah untuk dapat bertemu dengannya. Kupanggil dia dari jauh dengan siulan namun tidak didengarnya. Kulemparnya dengan batu kecil pun tidak digubris. Akhirnya kuambil sebuah kertas dan kutuliskan “ayo kawin lari”, lalu kulemparkan kepadanya.
Tampaknya dia tertarik dengan kertas itu. Lalu dibacanya tulisan itu, kemudian dia berjalan mendatangiku.
“Andi!!, bukankah sudah kubilang urusi saja dirimu sendiri!!” dia tampak marah kepadaku
“Aku hanya ingin menyelamatkanmu dari orang tuamu. Biar kamu bisa terbebas dari keserakahan orang tuamu akan harta calon suamimu itu.”
“Kamu bilang bisa menyelamatkanku? Dengan kawin lari?”
“Iya”
“Kamu ini benar-benar tidak dewasa ya, sejak kejadian di wisuda itu hingga sekarang ini kamu masih belum bertambah dewasa sedikit pun.”
“Jadi kamu lebih memilih menikah dengan orang itu demi hartanya?”
“Bukan. Aku memilih menikah dengannya bukan karena hartanya, tapi karena cinta”
“Tapi kamu tidak mencintainya bukan?”
“Iya, aku belum mencintainnya. Dan kelak aku pasti bisa mencintainya. Di samping itu aku memiliki cinta yang lebih besar dibandingkan cintaku padamu.”
“Apa itu?”
“Aku cinta kepada orang tuaku. Cintaku pada mereka melebihi cintaku kepada apapun juga, termasuk kepada dirimu. Merekalah orang yang selalu berkorban demi diriku, mereka merelakan harta dan bendanya demi diriku. Dan saat inilah saatnya aku berbakti kepada mereka.”
“Apakah kamu mau mengorbankan cinta kita?”
“Iya, sekali lagi kukatakan cintaku kepada orang tuaku jauh lebih besar dibandingkan cintaku padamu. Selain itu, produser itu orang yang baik, kok. Memang penampilannya garang, tapi hatinya lembut. Mungkin itulah yang sebenarnya dilihat oleh orang tuaku. Aku percaya orang tuaku tidak akan menjualku, aku percaya mereka akan selalu melindungiku.”
“Terus bagaimana denganku?”
“Lanjutkanlah hidupmu, andi. Cobalah cari pengganti yang lebih baik dari diriku. Aku yakin kelak kamu pasti akan menemukannya.”
“Hanya satu orang yang kucintai, Hani. Dan itu hanyalah kamu.”
“Aku yakin kamu pasti bisa. Sekarang aku harus kembali ke tempat syuting.”
Tak kusangka, gadis kecil yang dulunya aku sukai telah jauh menjadi lebih dewasa saat ini. Tidak diragukan lagi bahwa memang itulah pilihannya. Aku harus mampu merelakannya berada di pelukan orang lain. Dalam hidup ini memang terkadang cinta tak harus memiliki. Cinta juga bukanlah kata untuk mendeskripsikan kasih saying antara laki-laki dan perempuan saja, namun cinta memiliki makna yang lebih luas, kasih saying kepada orang tua pun didasari oleh cinta. Akhirnya aku harus belajar untuk menjadi dewasa. Aku haruslah belajar untuk merelakannya.
“Semoga kamu selalu bahagia bersamanya, Hani…”
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com danNulisbuku.com